Islam Universal
Pengarang
: Prof. DR. Nur Kholis Madjib
Dosen
pengampu : Miftahul Huda, M.Ag
Nama : zulfa maromi
NIM :
2021112128
Kelas : D
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGRI
(STAIN) PEKALONGAN
|
Pengertian
Wali al-Amr dan
Problematika
Hubungan Ulama dan Umara
Prof.
Ali Yafie
Kata
“wali al-amr” (dalam sebutan Indonesia) berasal dari “waliy-u ‘l-amr” (bahasa Arab). Kata ini biasa diartikan “penguasa”.
Kedua bagian kata majemuk ini sudah lazim dipakai dalam bahasa indonesia; yaitu
kata “amr” biasa dibunyikan “amar” yang berarti: perintah atau suruhan
Maka
kata “waliy-u ‘l-amr” dengan
pengertian “penguasa” atau “pemerintah”, cukup beralasan dilihat dari segi
pemakaian bahasa. Sesudah itu, ingin kita melihat kaitan pengertian kata ini
dengan persoalan hukum dalam rangka kajian fiqh. Dalam persoalan ini tentunya
pada tingkat pertama kita berupaya mencari pokok persoalannya dalam al-Qur’an.
Maka disana kita akan menemukan pemakaian kata “uli ‘l-amr” (yang artinya sama
dengan “waliy-u ‘l-amr”), pada dua
tempat, yaitu pada ayat 59 surah an-Nisa, dan pada ayat 83 dari surah yang
sama. Yang pertama berbunyi (terjemahannya): Hai orang-orang yang beriman!
Taatilah Allah dan taatilah rasulNya dan “ulil amri” dari kalian....). dan yang
kedua berbunyi (terjemahannya): Apabila mereka ditimpa suatu peristiwa keamanan
atau ketakutan, lalu mereka menyiarkannya. Seandainya mereka mengembalikan
persoalan itu kepada Rasul dan kepada “uli ‘l-amri” dari mereka, niscaya
orang-orang yang meneliti diantara mereka mengetahui hal itu....). mufassir
kenamaan yakni Imam ‘Imaduddin Ibn Katsir menukilkan keterangan Ibn ‘Abbas
(Sahabat Nabi) ra. “yakni ahl-u ‘l-fiqh-i wa ‘l-din” (yang dimaksud dengan uli
‘l-amr yaitu ahli dalam masalah-masalah agama). Sama dengan itu, pendapat
Mujahid, ‘Atha, Al Hasan Al Bashri dan Abul ‘Aliyah (semuanya ulama Tabi’in)
yakni al’ulama (yang dimaksud dengan uli ‘l-amr adalah ulama). Ibn Katsir
melanjutkan keterangannya bahwa yang jelas (wa ‘l-Lah-u a’lam), kata ini
pengertian umumnya mencakup para amir (umara) ulama. Pengertian ini diperkuat
oleh ayat 63 surah al-Maidah dan ayat 43 surah an-Nahl.
Teori Wilayah (Kekuasaan atau
Kewenangan)
Di
dalam fiqih di temukan ada dua jenis kekuasaan yang di kaitkan dengan sumbernya, Yang
pertama : sumber yang sifat pengasanya adalah natural- kultural, yang timbul
dari suatu keadaan yang menyangkut kepentingan
dirinya, di mana yang bersangkutan tidak atau belum cukup dan mampu untuk menindakan hukum yang
berkaitan dengan hak-hak dan
kewajibanya, di sini diperlukan berperanya orang lain untuk menggantikan
melakukan tindakan hukum.Yang ke dua: sumber
yang sifatnya sosial atau
konstitional yang timbul dari suatu
keadaan yang menyangkut kepentingan umum,utamanya untuk memberikan perlindungan
bagi kepentingan masyarakat, supaya terjamin kebebasanya,keamanyanya dan
ketertibanya.
Teori Fiqih dalam Kekuasaan Waliy-u ‘l-Amr
Al-ahkam as-
sulthaniyah ( hukum publik ) dalam kewenangannya yang bersangkutan dalam hukum
islam (al-wilayat ad-diniyah). Imam Al- Mawardi telah merinci menjadi 20 macam:
1.
Imam ah
(al-khilafah)
2.
Al-wizaroh
(kementerian)
3.
Al-imarah ‘ala
‘i-bilad (pemerintah daerah)
4.
Al-imarah ‘ala
‘i-jihat (kekuasaan pertahanan atau keamanan)
5.
Al-wilayah
‘ala ‘i- hurubi ‘l mashalih (kekuasaan penertiban masyarakat)
6.
Wilayat-u ‘i-qodha (kekuasaan kehakiman)
7.
Wilayat-u ‘i-mashalim (ada kemiripan kekuasaan
kepolisaian)
8.
Wilayat-un naqobah
‘ala dzaw-i ‘i-ansab (kekuasaan
pencatatan sipil)
9.
Al-wilayat ‘ala imamat-i ‘i-masajid (kekuasaan
pengangkatan imam-imam dan penataan
pimpinan masjid-masjid)
10. Al-wilayah
‘ala ‘i-hajj (kekuasaan penyelenggaran haji)
11. Wilayat-u
‘i-sodaqot (kekuasaan pelaksanan zakat)
12. Fi
qosm-i ‘i-fa’i wa ‘i-ghonimah (kekuasaan pengaturan dan pengurusan harta
rampasan)
13. Fi
wadh-i ‘i-jizyah wa ‘i-kharaj (kekuasaan penatapan dan pemungutan pajak)
14. Fi
ma takhtalif ahkamuh –u min al-bilad (penatapan setatus tanah)
15. Fi
ihya al-mawat wa-istihraj al-miyah (kekuasaan
pengelolaan tanah dan penggunaan sumber air)
16. Fil
himma wa i’-arfaq (kekuasaan penetapan tanah atau hutan lindung)
17. Fi
ahkam al-iqtha (hukum pertahanan)
18. Fi
wadh-i ‘i-diwan (kekuasaan pengaturan tata usaha pemerintahaan)
19. Fi
ahkam al-jaraim (pengaturan hukum pidana)
20. Fi
ahkam al-hisbah (kekuasaan kejaksaan)
Berbagi macam
kekuasaan tersebut di atas maka
kekuasaan yang pertama di bahas yaitu
immah atau khalifah merupakan kekuasaan yang tertinggi dan merupakan
sumber segala kewenangan.
Problematika
Hubungan Ulama dan Umara
Sepanjang masa kekhalifahan pertama (umara’ al-mu’minin) itu personalnya
adalah ulama penuh, dan kerja samanya dengan para ulama yang berada di luar
jaringan kekuasaan sangat baik, sehingga tidak timbul sesuatu dalam hal
pengembangan dan penerapan hukum Islam yang merupakan problematika dalam arti
yang menimbulkan kesulitan atau konflik. Namun dalam perkembangan sejarah pasca
kekhalifahan pertama, kebijaksanaan umum umara
dalam kekuasaan kekhalifahan Bani Umayyah mengalami perubahan orientasi dimana
keseimbangan antarfungsi “harasat-u
‘l-din” (pemeliharaan kepentingan agama) dan fungsi “siasat-u ‘l-dunya” (kebijakan penataan urusan pemerintahan),
cenderung lebih memberatkan sisi yang kedua itu. Ditambah lagi kalau kebetulan
personalia umaranya bukan ulama. Dalam hal perkembangan keadaan yang demikian
itu, kita melihat keenggana banyak tokoh ulama (termasuk para imam mujtahidin)
menolak ajakan atau permintaan para umara, supaya mereka masuk menempati
kedudukan-kedudukan dalam jaringan kekuasaan. Diantaranya ada yang melakukan
penentangan legal terbuka seperti Imam Ahmad Bin Hanbal terhadap khalifah
al-Ma’mun.
Wilayah-wilayah islam yang luas di
Afrika, Timur Tengah dan Asia, ditaklukan oleh penjajah-penjajah itu, dan
mereka menduduki kawasan yang terbentang luas itu sebagai penguasa-penguasa
yang tidak disenangi dan tidak diakui legalitasnya oleh rakyat banyak (kaum
Muslimin). Oleh karenanya secara terpaksa mereka menciptakan penguasa-penguasa
boneka dari Bumiputera, atau memberi pengakuan terbatas kepada umara lokal
(raja-raja atau sultan-sultan setempat) dengan bentuk pemerintahan yang mereka
namakan zelfbestuur. Keadaan seperti
itu berlangsung cukup lama sampai terjadinya perubahan global dengan terjadinya
Perang Dunia yang berjarak tidak terlalu lama, yang mengubah struktur umum
kekuasaan di seluruh dunia. Maka di Indonesia lahirlah suatu negara merdeka
(Republik Indonesia) yang segera disambut oleh para ulama dengan satu pengakuan
legalitas, diantaranya yang dicetuskan oleh pertemuan besar para ulama di
Surabaya pada awal Oktober 1945 yang menerima baik fatwa Rois Akbar KH. Hasyim
Asy’ari, di dalamnya tercantum dua butir penting yang berkaitan langsung dengan
pembahasan kita ini, yaitu bagian-bagian fatwa tersebut yang berbunyi:
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib
dipertahankan; Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah
wajib dibela dan diselamatkan meskipun meminta pengorbanan harta dan jiwa.
selengkapnya
0 Response to "Makalah Islam Universal"
Posting Komentar